Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih,
MPH, Dr. PH menyatakan susu formula yang beredar di Indonesia aman
dikonsumsi. Untuk memberikan jaminan keamanan pangan termasuk susu
formula, pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
melakukan sampling dan pengujian secara berturut-turut pada tahun 2008,
2009, 2010 dan awal Februari 2011 terhadap susu formula bayi
menunjukkan seluruh sampel yang diuji tidak mengandung Enterobacter
sakazakii.
Hal ini disampaikan Menkes pada jumpa pers di kantor Kementerian
Komunikasi dan Informatika (10/2/11). Jumpa Pers dipandu Menkominfo
Tifatul Sembiring, dihadiri Kepala BPOM Dra. Kustantinah, Apt, Ketua
Umum IDAI dr. Badriul Hegar, Sp.A dan Kepala Kantor Hukum dan Organisasi
IPB Dedy Muhammad Tauhid, SH, MM. Konferensi pers dilaksanakan
sehubungan dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 2975 K/Pdt/2009
tanggal 26 April 2010 berkaitan dengan gugatan hasil penelitian yang
dilakukan oleh FakuItas Kedokteran Hewan IPB terhadap 22 sampel susu
formula bayi dalam kurun waktu April-Juni 2006.Kendati susu formula aman, para ibu yang mempunyai bayi dianjurkan memberikan air susu ibu secara Eksklusif (ASI Eksklusif) yaitu memberikan ASI saja kepada bayi usia 0-6 bulan dan dilanjutkan sampai berusia 2 tahun. Setelah bayi berusia 6 bulan boleh diberikan makanan pendamping ASI. Kemkes tidak menganjurkan pemberian susu formula pada bayi, namun dalam kondisi dengan indikasi medis tertentu, yaitu kondisi medis bayi dan/atau kondisi medis ibu yang tidak memungkinkan pemberian ASI eksklusif, maka susu formula boleh diberikan. “Para pemakai susu bubuk formula perlu tahu bahwa susu bubuk formula bukanlah suatu produk yang steril dan dapat terkontaminasi oleh kuman yang menyebabkan penyakit”, ujar Menkes. Cara menyajikan susu formula yang benar adalah dengan menggunakan air yang dimasak sampai mendidih lalu dibiarkan selama 10-15 menit agar suhunya turun menjadi tidak kurang dari 70oC. Siapkan susu sebanyak yang dapat dihabiskan bayi dan sesuai takaran yang dianjurkan pada label. Sisa susu yang telah dilarutkan harus dibuang setelah 2 jam. Menkes menjelaskan, bayi yang rentan terhadap terinfeksi Enterobacter sakazakii adalah bayi neonatus dan bayi usia kurang dari 2 bulan, terutama bayi belum cukup bulan (prematur), berat bayi lahir rendah, atau bayi dengan imunitas rendah. Menurut Menkes, Enterobacter sakazakii memiliki kemampuan bertahan pada produk kering namun mudah mati jika terkena panas pada suhu 70C dalam 15 detik. “Menjaga sanitasi dan hygiene sangat penting untuk mencegah kontaminasi dari bakteri ini khususnya terkait dengan penyiapan, penyimpanan, dan penyajian produk formula bayi,” terang Menkes. Kasus akibat terinfeksi Enterobacter sakazakii jarang ditemukan. Berdasarkan publikasi WHO tanggal 13 Februari 2004 dan laporan tahun 1961 sampai 2003, di seluruh dunia ditemukan 48 bayi yang sakit. Sementara di Indonesia belum ada laporan mengenai hal ini. Kepala BPOM, Dra. Kustantinah menyatakan, institusi yang dipimpinnya memiliki otoritas pengawasan secara terus menerus melakukan pengawasan produk pangan termasuk produk formula bayi. Pengawasan dilakukan secara komprehensif sesuai dengan kaidah yang berlaku secara internasional meliputi pengawasan yang dimulai dari produk sebelum beredar (pre market control) sampai dengan produk di peredaran (post market control). Post market control dilakukan secara rutin antara lain melalui inspeksi terhadap sarana produksi untuk pemenuhan penerapan persyaratan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Selain itu juga dilakukan sampling produk dari peredaran untuk dilakukan pengujian laboratorium . Pada Maret 2008, BPOM telah melakukan sampling dan pengujian terhadap 96 produk formula bayi. Hasil pengujian Badan POM menunjukkan seluruh sampel yang diuji tidak mengandung Enterobacter sakazakii (ES). Pada tahun 2009 dilakukan sampling dan pengujian terhadap 11 sampel, tahun 2010 sebanyak 99 sampel, dan tahun 2011 sampai dengan awal Februari sebanyak 18 sampel. “Hasil pengujian menunjukkan seluruh sampel tidak mengandung Enterobacter sakazakii,” jelas Kustantinah. Ketua Umum IDAI dr. Badriul Hegar menyampaikan, susu bisa terkontaminasi saat pembuatan atau bisa juga dari lingkungan. Hegar menganjurkan ibu-ibu tetap melakukan pencegahan. Jika memang harus meminum susu formula perlu dilakukan preventif maksimal dalam mengolah susu. “Cuci tangan sebelum mengolah susu, membersihkan alat sampai bersih, dan mengaduk susu dengan air matang bersuhu 70 derajat Celcius dan tetap lakukan preventif maksimal,” jelasnya. Mengomentari desakan wartawan untuk mengumumkan merek susu yang tercemar bakteri Kepala Kantor Hukum dan Organisasi IPB Dedy Muhammad Tauhid mengatakan, ia tidak dapat mengumumkan susu formula yang mengandung bakteri ES karena hingga 10 Februari 2011, IPB belum menerima secara resmi salinan putusan kasasi dari MA. Pihaknya tahu tentang putusan kasasi MA dari website Mahkamah Agung. “Jika kami telah menerima salinan putusan MA, IPB akan melaksanakan hal-hal yang sudah diatur secara hukum, tentunya setelah melalui kajian dan perimbangan-pertimbangan. Karena itu IPB belum bias memaparkan datanya seperti yang diminta pengadilan”, papar Dedy. Menjawab pertanyaan wartawan, Dedy menyatakan IPB merasa tidak perlu meminta izin kepada produsen susu tertentu. Dana penelitian berasal dari hibah Ditjen Pendidikan Tinggi 2006 karenanya IPB tidak berkewajiban melaporkan hasil penelitian kepada Kemkes dan BPOM. Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id , info@depkes.go.id , kontak@depkes.go.id . |