Minggu, 27 Februari 2011

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan

LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan pada perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatiankhusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia
(lansia), dan keluarga miskin.
Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan: 1) Upaya
kesehatan, 2) Pembiayaan kesehatan, 3) Sumber daya manusia
kesehatan, 4) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, 5)
Manajemen dan informasi kesehatan, dan 6) Pemberdayaan masyarakat.
Upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan dinamika
kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan
lingkungan, kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), serta
globalisasi dan demokratisasi dengan semangat kemitraan dan
kerjasama lintas sektoral. Penekanan diberikan pada peningkatan
perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif.
Pembangunan Nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap
kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan.
Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional, telah ditetapkan arah RPJMN
Tahap II ialah perlunya memantapkan penataan kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM), membangun kemampuan IPTEK serta
memperkuat daya saing perekonomian.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang
Kesehatan (RPJPK) 2005-2025 dalam tahapan ke–2 (2010–2014),
kondisi pembangunan kesehatan diharapkan telah mampu mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan membaiknya
berbagai indikator pembangunan Sumber Daya Manusia, seperti
meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat,
meningkatnya kesetaraan gender, meningkatnya tumbuh kembang
optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak, terkendalinya jumlah dan
laju pertumbuhan penduduk, serta menurunnya kesenjangan antar
individu, antar kelompok masyarakat, dan antar daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010–2014, telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun
2010. Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari
Pembangunan Nasional tercantum dalam Bab II RPJMN, dalam Bidang
Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka sebagai salah satu
pelaku pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan telah
menyusun Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun
2010-2014.
Renstra Kementerian Kesehatan merupakan dokumen perencanaan
yang bersifat indikatif yang memuat program-program pembangunan
kesehatan yang akan dilaksanakan langsung oleh Kementerian
Kesehatan maupun dengan mendorong peran aktif masyarakat untuk
kurun waktu tahun 2010-2014. Lima pendekatan perencanaan yang
dipergunakan dalam penyusunan Renstra Kementerian Kesehatan  Untuk penyakit tidak menular, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 menunjukkan peningkatan kasus dan penyebab
kematian, terutama pada kasus kardiovaskular (hipertensi), diabetes
mellitus, dan obesitas.
Beberapa hasil yang telah dicapai oleh program perbaikan gizi masyarakat
antara lain pemberian kapsul vitamin A pada anak balita usia 6 - 59 bulan
sebesar 85% melampaui target 80%, dan pemberian tablet besi (Fe) pada ibu
hamil sebesar 75% dari target 80%; namun pemberian ASI eksklusif pada bayi
usia 0-6 bulan mengalami penurunan, dari 39,4% pada tahun 2003 menjadi 32%
pada tahun 2007 dari target 80% (2009). Hasil Riskesdas menunjukkan
terjadinya perbaikan status gizi anak balita, prevalensi kekurangan gizi pada
anak balita sebesar 18,4% yang terdiri dari gizi kurang 13% dan gizi buruk 5,4%.
Keadaan gizi pada ibu hamil, bayi dan anak balita perlu terus ditingkatkan
karena masih tingginya bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
sebesar 11,5%, dan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting)
akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu lama (kronis) yaitu 36,8% (Riskesdas
2007). Disparitas status gizi juga cukup lebar antar wilayah dan antar tingkat
sosial ekonomi. Kedepan perbaikan gizi perlu difokuskan pada kelompok
sasaran ibu hamil dan anak sampai usia 2 tahun mengingat dampaknya
terhadap tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas generasi
yang akan datang (Bank Dunia, 2006).
Penelitian dan pengembangan kesehatan terus berkembang, ditandai
dengan Riskesdas 2007 yang merupakan upaya baru dalam mengisi
kekosongan data dasar yang selama ini terjadi. Informasi berkaitan
dengan kinerja pembangunan kesehatan dalam Riskesdas menjadi
acuan bagi penyusunan kebijakan pembangunan kesehatan lebih lanjut.
Namun di sisi lain, belum banyak hasil penelitian yang dimanfaatkan
untuk penyusunan kebijakan atau menghasilkan teknologi yang
membangun kesehatan atau menghasilkan paten. Hasil penelitian yang
bermanfaat tahun 2007 sebanyak 102 dokumen menurun menjadi 37  adalah: (1) pendekatan politik, (2) pendekatan teknokratik, (3)
pendekatan partisipatif, (4) pendekatan atas-bawah (top-down), dan (5)
pendekatan bawah-atas (bottom-up).
Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 ini didasarkan pada
perubahan struktur organisasi Kementerian Kesehatan yang
memberikan penekanan pada pencapaian sasaran Prioritas Nasional,
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota,
dan Millenium Development Goals (MDG’s).
I.2. KONDISI UMUM
Gambaran kondisi umum pembangunan kesehatan didapatkan dari hasil
evaluasi Renstra Kementerian Kesehatan 2005-2009.
Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan menurun dari 307 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Prevalensi gizi kurang pada balita,
menurun dari 25,8% pada akhir tahun 2003 menjadi sebesar 18,4% pada
tahun 2007 (Riskesdas, 2007). Angka Kematian Bayi (AKB) menurun dari
35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Sejalan dengan
penurunan Angka Kematian Bayi, Umur Harapan Hidup (UHH) meningkat
dari 66,2 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007.
Upaya kesehatan masyarakat mengalami peningkatan capaian, seperti
cakupan rawat jalan sudah mencapai 15,26% pada tahun 2008. Cakupan
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 77,23%
pada tahun 2007 menjadi 80,36% pada tahun 2008. Begitu juga cakupan
pelayanan antenatal (K4) meningkat dari 79,65% pada tahun 2007
menjadi sebesar 86,04% pada tahun 2008, cakupan kunjungan neonatus
meningkat dari 78% menjadi 87% pada tahun 2008. Pelayanan  kesehatan dasar bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di Puskesmas
mencapai target, yaitu sebesar 100% dan jumlah Poskesdes melebihi
target (36.000 desa), yaitu mencapai 47.111 desa; namun perhatian perlu
diberikan pada cakupan kunjungan bayi yang mengalami penurunan,
jumlah Puskesmas yang menyelenggarakan PONED belum sesuai target
4 Puskesmas tiap kabupaten/kota dan perlu peningkatan upaya
mobilisasi ibu hamil untuk bersalin, dan upaya peningkatan kualitas
Posyandu menjadi Posyandu Mandiri perlu lebih digiatkan.
Upaya kesehatan perorangan mengalami peningkatan dan beberapa
telah mencapai target, bahkan melebihi target, seperti peningkatan
jumlah rumah sakit yang melaksanakan pelayanan gawat darurat
meningkat dan mencapai target (90%) dari 1137 rumah sakit (88%) pada
tahun 2007 menjadi 1163 rumah sakit (90%) pada tahun 2008. Jumlah
rumah sakit yang melaksanakan PONEK meningkat dari 183 rumah sakit
(42%) pada tahun 2007 menjadi 265 rumah sakit (60%) pada tahun 2008.
Jumlah rumah sakit yang terakreditasi meningkat dari 702 rumah sakit
(54,33%) menjadi 760 rumah sakit (58,8%) pada tahun 2008.
Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin di rumah
sakit sebesar 100%. Penguatan utilisasi rumah sakit meningkat cepat
dari 15,1% (1996) menjadi 33,7% (2006), begitu juga dengan contact rate
(penduduk yang sakit yang berkunjung ke fasilitas kesehatan) meningkat
dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007; namun
masih banyak penduduk yang mencari pengobatan sendiri (45%) dan
tidak berobat sama sekali (13,3%) serta perlu peningkatan jumlah rumah
sakit secara rasional sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk.
Pada program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular juga
mengalami peningkatan capaian walaupun penyakit infeksi menular
masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menonjol
terutama TB, Malaria, HIV/AIDS, DBD dan Diare. Cakupan nasional
program imunisasi berdasarkan laporan rutin dari daerah secara umum  menunjukkan peningkatan. Cakupan nasional tahun 2008 adalah BCG :
93,4%, DPT-HB3 : 91,6%, HB (0 -<7 hari) : 59,2%, Polio 4 : 90,2% dan
Campak : 90,8%. Meski telah berjalan baik, program imunisasi belum
optimal, karena cakupan ini belum merata yang digambarkan melalui
persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI)
pada tahun 2008 baru 68,3%. Penanggulangan penyakit HIV/AIDS,
Tuberkulosis paru, dan Malaria (ATM) sudah mengalami peningkatan
namun masih perlu mendapat perhatian dalam peningkatan
pengendaliannya untuk masa yang akan datang. Penemuan kasus
HIV/AIDS meningkat dengan meningkatnya out reach dan keterbukaan
masyarakat terhadap penyakit ini. Case Detection Rate (CDR)
tuberculosis paru menurun dari 69,12% pada tahun 2007 menjadi 68,5%
pada tahun 2008 demikian juga dengan success rate mengalami
penurunan dari 91% pada tahun 2007 menjadi 88,17% pada tahun 2008,
untuk itu perlu perhatian lebih pada upaya deteksi tuberkulosis paru dan
juga keberhasilan pengobatannya. Ketersediaan reagen, pemberdayaan
masyarakat dan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ditingkat
pelayanan primer harus diperhatikan. Untuk malaria, daerah endemis
semakin meluas dan ada kecenderungan terjadi resistensi di daerah
endemis, perlu peningkatan upaya promotif dan preventif serta kerja
sama sektoral terkait dengan man made breeding places. Angka
kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) masih tinggi; yaitu sebesar
59,94% pada tahun 2008, walaupun demikian angka kematian akibat
DBD relatif kecil, menurun dari 1 kasus pada tahun 2007 menjadi 0,86
pada tahun 2008. Untuk itu perlu perhatian pada upaya pencegahan
yang dapat diupayakan sendiri oleh masyarakat dengan penerapan 3M
(menguras, menutup, mengubur) dan juga didorong oleh upaya promotif.
Selain itu, perhatian juga perlu diberikan pada penyelenggaraan sistem
surveilans dan kewaspadaan dini yang kurang mendapat perhatian pada
penganggarannya. dokumen dari target 82 dokumen tahun 2008. Rekomendasi kebijakan
(policy paper) pada tahun 2007 meningkat menjadi 11 dokumen dari
target 7 dokumen pada tahun 2008. Fakta ketersediaan SDM Litbangkes
yang mengikuti diklat fungsional menurun jumlahnya, dari 54 orang pada
tahun 2007 menjadi 24 orang dari target 50 orang pada tahun 2008.
Jumlah SDM yang melaksanakan dan mendukung penelitian dan
pengembangan kesehatan (litbangkes) melalui kegiatan pelatihan,
seminar, dan mengikuti pertemuan ilmiah mengalami peningkatan
sebanyak 500 orang pada tahun 2007 menjadi sebanyak 850 orang pada
tahun 2008. Ketersediaan sarana dan prasarana Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Litbangkes yang terakreditasi pada tahun 2007 sebanyak 16 unit
yang sesuai dengan target pada tahun 2008. Jejaring Forum Litbangkes
tidak berubah jumlahnya yaitu sebanyak 16 dokumen pada tahun 2007
dan sebanyak 16 dokumen pada tahun 2008 dari target sebanyak 14
dokumen tahun 2008.
Pengganggaran pembangunan kesehatan perlu lebih difokuskan pada
upaya promotif dan preventif dengan tetap memperhatikan besaran
satuan anggaran kuratif yang relatif lebih besar. Dana bantuan untuk
daerah sebaiknya juga mulai direncanakan secara proporsional sesuai
dengan kemampuan fiskal daerah dan besaran masalah masing-masing
daerah. Berdasarkan indeks pembangunan kesehatan masyarakat
terdapat daerah dengan masalah kesehatan sangat besar, memerlukan
dukungan sumber daya yang lebih besar dari daerah lainnya.
Sistem informasi menjadi lemah setelah desentralisasi, data dan
informasi untuk evidence planning tidak tersedia tepat waktu. Sistem
Informasi Kesehatan (Siknas) online yang berbasis fasilitas sudah
terintegrasi, tetapi masih banyak faktor yang mempengaruhi seperti
ketersediaan jaringan, input dari entry point di daerah dan fasilitas
kesehatan serta pemanfaatan informasi. Dalam kaitannya dengan
pembiayaan kesehatan untuk daerah sejak 4 tahun terakhir, pembiayaan
ke daerah sudah mengalami peningkatan hingga lebih dari 80% (2007). Untuk Program Sumber Daya Manusia Kesehatan, rasio tenaga
kesehatan per 100.000 penduduk belum memenuhi target. Sampai
dengan tahun 2008, rasio tenaga kesehatan masih belum mencapai
target per 100.000 penduduk sesuai tahun 2008, seperti untuk dokter
spesialis 7,73 per 100.000 penduduk (target 9 per 100.000 penduduk),
dokter umum sebesar 26,3 per 100.000 penduduk (target 30 per 100.000
penduduk), dokter gigi sebesar 7,7 per 100.000 penduduk (target 11 per
100.000 penduduk), perawat sebesar 157,75 per 100.000 penduduk
sudah mendekati target 158 per 100.000 penduduk, dan bidan sebesar
43,75 per 100.000 penduduk jauh dari target 75 per 100.000 penduduk.
Masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan, seperti dokter umum pada
tahun 2007-2010 sebanyak 26.218 orang, dokter spesialis sebanyak
8.860 orang, dokter gigi sebanyak 14.665 orang, perawat sebanyak
63.912 orang, bidan sebanyak 97.802 orang, apoteker sebanyak 11.027
orang, kesehatan masyarakat sebanyak 9.136 orang, sanitarian
sebanyak 13.455 orang, tenaga gizi sebanyak 27.127 orang, terapi fisik
sebanyak 4.148 orang, dan teknis medis sebanyak 3.838 orang.
Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan untuk daerah terpencil,
tertinggal dan perbatasan tahun demi tahun diupayakan untuk
ditingkatkan.
Dalam pembangunan kesehatan, SDM Kesehatan merupakan salah satu
isu utama yang mendapat perhatian terutama yang terkait dengan
jumlah, jenis dan distribusi, selain itu juga terkait dengan pembagian
kewenangan dalam pengaturan SDM Kesehatan (PP No. 38 tahun 2000
dan PP No. 41 tahun 2000). Oleh karena itu, diperlukan penanganan
lebih seksama yang didukung dengan regulasi yang memadai dan
pengaturan insentif, reward-punishment, dan sistim pengembangan
karier. Kompetensi tenaga kesehatan belum terstandarisasi dengan baik.
Hal ini disebabkan karena saat ini baru ada satu standar kompetensi
untuk dokter umum dan dokter gigi serta job deskripsi tenaga kesehatan  lainnya belum jelas. Kerangka hukum dalam pendidikan tenaga
kesehatan di Indonesia, terutama dalam hal sertifikasi dan akreditasi di
Indonesia perlu diperkuat, dalam kaitan dengan Undang-Undang
Sisdiknas No.20 tahun 2003 dan Undang-Undang Dosen No. 14 Tahun
2005. Perekrutan tenaga kesehatan oleh daerah masih rendah karena
keterbatasan formasi dan dana.
Untuk Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, ketersediaan obat
esensial generik di sarana pelayanan kesehatan baru mencapai 69,74%
dari target 95%, anggaran untuk obat esensial generik di sektor publik
sebesar 14,47% dengan target setara dengan $ 2 US perkapita.
Peresepan Obat Generik Berlogo (OGB) di Puskesmas sudah sebesar
90%, namun di RSU sebesar 66% dan di RS swasta dan apotek sebesar
49%. Perhatian perlu diberikan pada ketersediaan bahan baku yang
didominasi dari impor yang mencapai 85% dari kebutuhan, selain itu
pengadaan obat sering terkendala DIPA dan sistem pengadaan yang
berpotensi menimbulkan terputusnya ketersediaan obat dan vaksin.
Walaupun ketersediaan OGB tinggi, harga murah tetapi akses
masyarakat terhambat karena adanya asymmetric information dan
praktek pemasaran yang kurang baik, dan sekitar 30% obat resep dijual
langsung oleh dokter, bidan atau perawat.
Indonesia memiliki sumber hayati tanaman obat yang cukup beragam
dan mempunyai efek pengobatan, diantaranya telah digunakan sebagai
bahan baku industri. Obat-obatan tradisional secara luas digunakan
terutama di daerah perdesaan dan mulai berkembang pada masyarakat
di perkotaan. Dalam beberapa dekade terakhir obat tradisional produksi
rumah tangga berkembang menjadi industri dengan lebih dari 900
industri kecil dan 130 industri menengah, 69 diantaranya telah mendapat
sertifikat Good Traditional Medicine Manufacturing Practice (GTMMP).
Sementara itu, perkembangan di tingkat global, seperti AFTA 2010 &
Asean Charter 2008 menciptakan pasar tunggal ASEAN, bebas dan  tanpa tarif menimbulkan implikasi berupa harga obat turun dan
persaingan makin kuat; untuk itu perlu dilakukan pengawasan dan
memperkuat regulasi, standarisasi perlu segera disusun, selain itu perlu
dilakukan pengukuran dampak terhadap kesehatan masyarakat dan
industri farmasi.
Jamu yang merupakan pengobatan tradisional, namun
pengembangannya agak terlambat sehingga perlu dikembangkan
penggunaannya dan dijamin keamanannya karena sudah diterima oleh
masyarakat dan telah digunakan luas di masyarakat.
Program Kebijakan dan Manajemen perlu terus dikembangkan dan lebih
difokuskan, utamanya untuk mencapai efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan pembangunan kesehatan melalui penguatan manajerial
dan sinkronisasi perencanaan kebijakan, program dan anggaran.
Capaian program yang menggembirakan diantaranya penduduk miskin
yang menjadi peserta jaminan kesehatan dan terlayani sudah 100%,
tertanggulanginya masalah kesehatan akibat bencana secara cepat,
serta penyampaian pesan kesehatan dan citra positif Kementerian
Kesehatan sudah dilakukan secara efektif, utamanya melalui media
massa, baik cetak maupun elektronik, namun perlu penguatan untuk
advokasi.
Kebijakan di bidang kesehatan telah banyak disusun, baik pada tingkatan
strategis, manajerial maupun teknis seperti Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan penyesuaian (revisi)
dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992; Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; dan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Berbagai kebijakan dalam tingkatan
manajerial juga tersedia, seperti Sistem Kesehatan Nasional (SKN),
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK)
Tahun 2005-2025, Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kesehatan  dengan panduan tentang Kewenangan Wajib serta
implementasi SPM dalam rangka desentralisasi. Sementara itu hukum
kesehatan perlu ditata secara sistematis, serta banyak peraturan yang
masih harus dilengkapi. Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan kualitas pelayanan kesehatan, maka masyarakat dan tenaga
kesehatan sebagai pengguna dan pemberi pelayanan kesehatan perlu
dilindungi.
Pembangunan kesehatan perlu memberikan penekanan pada
peningkatan kesetaraan gender (gender equity) dalam rangka
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh akses,
partisipasi, manfaat, dan kontrol antara laki-laki dan perempuan dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan dan perannya dalam pembangunan
kesehatan. Diharapkan pada akhir pembangunan 5 tahun ke depan
(2014), terjadi peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG).
Program Pendidikan Kedinasan sejalan dengan upaya percepatan
peningkatan pelayanan medik spesialistik secara nasional, maka pada
tahun 2008 telah diselenggarakan sebanyak 700 orang tugas belajar
Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Kompetensi (PPDSBK)
dan tahun 2009 menjadi 1.740 tugas belajar PPDSBK.  Program Pengelolaan SDM Aparatur untuk pemenuhan formasi CPNS
sudah melampaui target sebesar 98% dan mengalami peningkatan, yaitu
sebesar 98,07% pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 menjadi sebesar
99,96% dan realisasi pemenuhan kebutuhan Pegawai Tidak Tetap (PTT)
pada tahun 2007 sebesar 68,94% meningkat menjadi sebesar 69,06%
pada tahun 2008 yang hampir memenuhi target sebesar 70%. Namun
masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan, terutama di daerah yang
kurang diminati sehingga memerlukan pengangkatan oleh Pemerintah.
Cakupan data base PNS Pusat melalui Sistem Informasi Manajemen
Kepegawaian (SIMKA) belum memenuhi target sebesar 100% namun
mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007 sebesar 91,33% menjadi
sebesar 95,34% pada tahun 2008. Pemberian sanksi terhadap PNS
Kementerian Kesehatan juga telah dilakukan, dalam 2 tahun terakhir
(2006 dan 2007) telah diberhentikan dengan tidak hormat sebanyak 133
orang, diberhentikan dengan hak pensiun sebanyak 4 orang, penurunan
pangkat 2 orang dan pembebasan dari jabatan 1 orang.
Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas serta Program
Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan perlu
ditingkatkan agar pengelolaan program Kementerian Kesehatan dapat
terselenggara secara efektif, efisien, dan akuntabel. Meneruskan hasil
pengawasan yang tidak ditindaklanjuti sesuai peraturan perundangundangan
yang berlaku dan melakukan kerjasama dengan aparat
pengawasan intern pemerintah lainnya untuk pelaksanaan tindak lanjut
hasil pengawasan.
Keberhasilan pengawasan penganggaran telah mencapai predikat Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), diharapkan ke depan akan meningkat
kualitasnya menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Keberhasilan melaksanakan pembangunan kesehatan juga dapat
digambarkan dengan capaian indikator program-program. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat mengalami
peningkatan capaian, seperti rumah tangga dengan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) meningkat dari 27% pada tahun 2005 menjadi
48,66% pada tahun 2008. Indikator lainnya seperti Desa Siaga sampai
dengan tahun 2009 sudah lebih dari separuhnya tercapai (47.111 desa
dari 70.000 desa); namun kita perlu memberi perhatian pada perilaku
merokok yang semakin memburuk dengan makin mudanya usia awal
perokok, selain itu ada pemberian ASI eksklusif yang menurun, yang
disebabkan baik oleh perilaku maupun besarnya pengaruh dari luar,
seperti pemberian susu formula gratis pada saat ibu melahirkan.
Untuk Program Lingkungan Sehat, akses masyarakat terhadap air bersih
dan sanitasi telah berhasil ditingkatkan, seperti peningkatan pada
persentase keluarga menghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan
dari 70,9% menjadi 73,23% belum mencapai target sebesar 75% pada
tahun 2009, persentase keluarga menggunakan air bersih meningkat dari
58,3% menjadi 60,33% dari target 85% pada tahun 2009, dan
peningkatan persentase Tempat Tempat Umum (TTU) sehat 78%
menjadi 78,5% namun belum mencapai target 80% pada tahun 2009;
selain itu kita juga perlu memberikan perhatian pada terjadinya
peningkatan rumah tangga yang tidak memiliki saluran pembuangan air
limbah, dan masih ada rumah tangga yang memelihara unggas atau
ternak dalam rumah.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sudah dapat ditunjukkan dengan
tercapainya indikator sasaran; namun saat ini merupakan kesempatan
yang baik untuk lebih memberikan penajaman dan kesinambungan
program-program yang dilaksanakan untuk periode berikutnya.
Pembangunan kesehatan dengan fokus wilayah diharapkan memperoleh
perhatian, terdapat daerah-daerah dengan capaian derajat kesehatan
yang sangat rendah, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)  sangat rendah atau terendah diantara daerah lainnya. Daerah seperti ini
memerlukan pendekatan penanggulangan yang sesuai.
I.3. POTENSI DAN PERMASALAHAN
Angka Kematian Ibu (AKI) sudah mengalami penurunan namun angka
tersebut masih jauh dari target MDG’s tahun 2015 (102/100.000 KH),
diperlukan upaya yang luar biasa untuk pencapaian target. Demikian
halnya dengan Angka Kematian Bayi (AKB), masih jauh dari target
MDG’s (23/1.000 KH) kalau dilihat dari potensi untuk menurunkan AKB
maka masih on track walaupun diperlukan sumber daya manusia yang
kompeten.
Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar sudah
meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah Puskesmas,
dibentuknya Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) di tiap desa, dan
dijaminnya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin di
Puskesmas dan rumah sakit oleh Pemerintah. Namun akses terhadap
pelayanan kesehatan belum merata di seluruh wilayah Indonesia, masih
terbatasnya sarana pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan di
Daerah Tertinggal Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Bagi
masyarakat di DTPK, keterbatasan akses juga disebabkan karena
kondisi geografis yang sulit dan masih terbatasnya transportasi dan
infrastruktur.
Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit
meningkat, salah satu faktor pendorongnya adalah adanya jaminan
pembiayaan kesehatan di rumah sakit bagi masyarakat miskin. Untuk
meningkatkan akses tersebut, pemerintah memiliki keterbatasan pada
jumlah Bed Occupation Rate (BOR) kelas III yang dikhususkan bagi
masyarakat tak mampu. Selain itu sistem rujukan belum berjalan dengan
baik sehingga pelayanan kesehatan tidak efisien. Kebijakan serta pembinaan dan pengawasan belum mencakup klinik dan rumah sakit
swasta, serta dirasakan belum terkoordinasinya pelayanan kesehatan
secara kewilayahan.
Secara umum terjadi penurunan angka kesakitan, namun penularan
infeksi penyakit menular utamanya ATM (AIDS/HIV, TBC, dan Malaria)
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol dan
perlu upaya keras untuk dapat mencapai target MDG’s. Selain itu,
terdapat beberapa penyakit seperti penyakit Filariasis, Kusta, Frambusia
cenderung meningkat kembali. Demikian pula penyakit Pes masih
terdapat di berbagai daerah.
Disamping itu, terjadi peningkatan penyakit tidak menular yang
berkontribusi besar terhadap kesakitan dan kematian, utamanya pada
penduduk perkotaan. Target cakupan imunisasi belum tercapai, perlu
peningkatan upaya preventif dan promotif seiring dengan upaya kuratif
dan rehabilitatif.
Akibat dari cakupan Universal Child Imunization (UCI) yang belum
tercapai akan berpotensi timbulnya kasus-kasus Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di beberapa daerah risiko tinggi yang
selanjutnya dapat mengakibatkan munculnya wabah. Untuk menekan
angka kesakitan dan kematian akibat PD3I perlu upaya imunisasi dengan
cakupan yang tinggi dan merata.
Untuk anggaran pembiayaan kesehatan, permasalahannya lebih pada
alokasi yang cenderung pada upaya kuratif dan masih kurangnya
anggaran untuk biaya operasional dan kegiatan langsung untuk
Puskesmas. Terhambatnya realisasi anggaran juga terjadi karena proses
anggaran yang terlambat. tenaga kesehatan juga masih rendah, pengembangan karier
belum berjalan, sistem penghargaan, dan sanksi belum sebagaimana
mestinya.
Masalah kurangnya tenaga kesehatan, baik jumlah, jenis dan
distribusinya menimbulkan dampak terhadap rendahnya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, di samping itu
juga menimbulkan permasalahan pada rujukan dan penanganan pasien
untuk kasus tertentu.
Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga obat namun masih
banyak kendala yang dihadapi, salah satunya dalam hal produksi obat.
Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor yang menyebabkan
harga obat masih sulit dijangkau masyarakat. Belum banyak penelitian
dilakukan untuk mengeksplorasi kekayaan hayati Indonesia untuk diolah
menjadi bahan baku obat. Obat herbal juga belum banyak
dikembangkan. Tingginya persentase bahan baku obat yang diimpor
mencapai 85% mengakibatkan tingginya harga obat sehingga akan
menurunkan akses masyarakat terhadap keterjangkauan obat yang
diperlukan. kebijakan. Pemanfaatan data belum optimal
dan surveilans belum dilaksanakan secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Proses desentralisasi yang belum optimal berpotensi
menimbulkan masalah pada buruknya pelayanan kesehatan yang
diberikan bagi masyarakat. Permasalahan tersebut antara lain muncul
pada pembagian peran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
termasuk di dalamnya adalah masalah pembiayaan khususnya untuk
kegiatan dan biaya operasional, munculnya permasalahan pada
harmonisasi kebijakan, masalah pada pelaksanaan kebijakan termasuk
sinkronisasi dinas kesehatan dan manajemen Rumah Sakit, serta
komitmen pemerintah daerah untuk biaya operasional dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar yang masih minim.
Masyarakat masih ditempatkan sebagai obyek dalam pembangunan
kesehatan, promosi kesehatan belum banyak merubah perilaku
masyarakat menjadi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Pemanfaatan dan kualitas Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM), seperti Posyandu dan Poskesdes masih rendah. Upaya
kesehatan juga belum sepenuhnya mendorong peningkatan atau
perubahan pada perilaku hidup bersih dan sehat, yang mengakibatkan
tingginya angka kesakitan yang diderita oleh masyarakat.